Menggugat “Bahasa”

- Jumat, 4 Februari 2022 | 14:50 WIB
Shilva Lioni
Shilva Lioni


Oleh: Shilva Lioni
Dosen Jurusan Sastra Inggris Universitas Andalas

Haluan Padang - Dalam berinteraksi dengan sesama manusia, bahasa sangat diperlukan untuk menyampaikan maksud dan tujuan. Namun untuk berkomunikasi, sangat diperlukan memilih dan memilah bahasa, agar hal yang disampaikan bisa dicerna dengan baik oleh orang yang dituju.

Baru-baru ini permasalahan dalam berbahasa menjadi sempat viral. Dimana mencuat kasus bahasa yang disampaikan oleh Kader PDIP, Arteria Dahlan dan Kader PKS, Edi Mulyadi yang membuat publik heboh. Salah-salah menggunakan bahasa, bisa mengarah kepada ujaran kebencian.

Dalam menjawab persoalan hukum, analisis dimensi bahasa sebagai alat bukti tindak pidana dibahas lebih lanjut dalam kajian linguistik forensik (Couthard & Johnson, 2007, An Introduction to forensic linguistics: Language in evidence. Oxford: Routledge). Kajian ini difokuskan dalam melihat fungsi dan efek dari sebuah bahasa.

Dalam sudut pandang ilmu linguistik, pada dasarnya sebuah tuturan tidak hanya mengandung unsur internal kebahasaan seperti kata, frasa, tata bahasa, dan makna gramatikal saja.

Namun lebih lanjut sebuah tuturan juga mengandung aksi yang berimplikasi kepada pendengar maupun penutur yang dikenal dengan istilah tindak tutur (Austin, 1962).

Sebagai contoh pada tuturan “awas ada harimau lewat”.

Jika diucapkan dalam situasi dan konteks dua orang sedang bermusuhan. Kemudian satu pihak menuturkan tuturan tersebut kepada pihak ketiga. Disaat bersamaan pihak kedua (yang dimusuhi-red) tersebut lewat, maka tuturan tersebut bermakna sebuah sindiran. Tuturan tersebut tidak lagi tuturan biasa.

Sebagai sebuah alat ekspresi, kehadiran bahasa pada dasarnya cukup menarik. Dengan menggunakan bahasa, seseorang dapat mengekspresikan isi pikirannya.

Bahasa juga bisa menciptakan kedekatan emosional antar manusia, menjauhkan dan memisahkan. Bahkan menyakiti dan membunuh seseorang atau kelompok secara mental.

Oleh karena itu, bahasa dapat dijadikan sebagai sebuah alat bukti tindak kejahatan hukum. Dengan analogi jika pisau dapat dijadikan alat bukti kejahatan pada kasus pembunuhan, maka bahasa dapat dijadikan alat bukti kejahatan pada kasus ujaran kebencian, penghinaan, pencemaran nama baik, bullying, kebohongan publik, dan sebagainya. Karena dalam hal ini ada korban akibat bahasa tersebut.

Sebuah bahasa yang dituturkan pada dasarnya dapat menyakiti hingga memantik amarah pendengar. Terlebih jika tuturan yang dimaksud tidak bersesuaian dengan apa yang diharapkan oleh pendengar.

Oleh karena itu, menjadi penting bagi penutur untuk dapat mempertimbangkan setiap unsur bahasa yang digunakannya beserta akibat yang dibawa. Agar bersesuaian dengan harapan pendengar terutama jika pendengar atau mitra tutur yang dituju dalam hal ini adalah khalayak ramai atau komunitas.

Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang penutur ketika berbahasa.

1) intensi atau maksud dari tuturan yang hendak dicapai,
2) implikasi dari tuturan yang diproduksi,
3) penyesuaian cara penyampaian (melingkupi pemilihan kata dan kontrol sosial),
4) target atau sasaran, yakni melingkupi kepada siapa dan seberapa jauh hubungan kesetaraan background pengalaman dan pemahaman yang dimiliki antar partisipan.

Halaman:

Editor: Hajravif Angga

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Wacana Berita Jokowi 3 Periode pada Portal Media Massa

Senin, 26 Desember 2022 | 15:12 WIB

Bahasa Daerah yang Mulai Ditinggalkan

Sabtu, 25 Juni 2022 | 12:07 WIB

Ilustrasi Tidak Logis

Minggu, 27 Februari 2022 | 21:38 WIB

Desa Kecil di Kota Kecil

Jumat, 11 Februari 2022 | 15:04 WIB

Menggugat “Bahasa”

Jumat, 4 Februari 2022 | 14:50 WIB

NAGARI RAMAH HARIMAU

Minggu, 16 Januari 2022 | 04:36 WIB
X