HALUAN PADANG - Tim Peneliti Sejarah dan Budaya Kerajaan Jambu Lipo mengungkapkan sejumlah temuan awal dalam seminar yang digelar di Ballroom Bundo Kanduang Hotel Bumi Minang, Rabu (2/11).
Tim peneliti yang terdiri dari Sudarmoko Ph.d, Dr Norpiyasman, Dr Ivan Adilla, dan Hary Efendi Iskandar, SS., tersebut mendapatkan sejumlah temuan awal setelah melakukan penelitian lapangan di sejumlah lokasi penting terkait kerajaan Jambu Lipo, seperti Dharmasraya dan Solok Selatan, serta mengadakan serangkaian wawancara dan studi pustaka.
Dalam seminar berjudul Kajian Sejarah dan Budaya Kerajaan Jambulipo itu, salah satu temuan yang dipaparkan Sudarmoko ialah pentingnya arti prosesi Rajo Manjalin Rantau tak hanya bagi masyarakat Lubuk Tarok tempat berdirinya Kerajaan Jambu Lipo namun juga bagi eksistensi Kerajaan Jambu Lipo itu sendiri.
Lebih jauh Sudarmoko mengatakan bahwa prosesi tersebut merupakan mata rantai yang menghubungkan antara masyarakat dan pihak kerajaan serta wilayah-wilayah rantau yang punya hubungan khusus dengan kerajaan. Karenanya, prosesi tersebut memiliki posisi amat penting sebagai penjaga eksistensi Kerajaan Jambu Lipo.
Lewat prosesi Rajo Manjalin Rantau-lah ingatan kolektif tentang Kerajaan Jambu Lipo terus hidup. Lewat prosesi itu pula pengetahuan sejarah dan adat istiadat masyarakat Lubuk Tarok mengenai Jambu Lipo terus diperbaharui. Dengan kata lain, jika prosesi tersebut terhenti untuk waktu lama maka keberadaan Jambu Lipo itu pun sendiri ikut terancam.
Di samping itu, masih menurut Sudarmoko, prosesi Rajo Manjalin Rantu juga menjadi medium untuk menyelesaikan konflik dan membangun konsensus.
Ivan Adilla, salah satu tim peneliti, kemudian menjelaskan bahwa tim juga menemukan sejumlah tinggalan budaya non-material seperti cerita rakyat-cerita rakyat serta mitologi yang berhubungan dengan kerajaan Jambu Lipo. Cerita-cerita itu berisi asal-usul kerajaan atau kisah-kisah tokoh besar yang pernah hidup di lingkungan kerajaan. Menurut Ivan, semua itu tak kalah penting artinya sebagai penjaga dan saluran penerus ingatan kolektif mengenai Jambu Lipo.
Baca Juga: Seminar Kajian Sejarah dan Budaya Kerajaan Jambu Lipo Picu Polemik
Sementara itu, sejarawan Universitas Andalas Nopriyasman juga memaparkan temuan awal lainnya yang berkaitan dengan sejarah kerajaan Jambu Lipo. Salah satu temuan awal tersebut ialah soal asal-usul nama Jambu Lipo.
Menurut Nopriyasman terdapat beberapa versi asal-usul nama Jambu Lipo yang berkaitan dengan komitmen. Di antaranya Jan Buliah Lupo, Jan Ibu Lupo, dan Jan Buhua Lupo. Dari tiga versi tersebut Norpriyasman cendrung lebih sepakat dengan versi terakhir. Kesimpulan tersebut ditariknya dengan menempatkan Kerajaan Jambu Lipo sebagai bagian dari kerajaan-kerajaan Melayu masa-masa awal yang cenderung membangun ikatan tertentu antara satu sama lain lewat berbagai bentuk perjanjian atau komitmen demi menjaga keberlansungan tiap-tiap kerajaan. ‘Jan Buhua Lupo sendiri bisa diartikan sebagai ‘jangan sampai melupakan ikatan’ yang mencerminkan adanya ikatan atau komitmen antara Jambu Lipo dengan kerajaan lain yang terbentuk di masa lalu, dalam hal ini Pagaruyuang.
Baca Juga: Mengikuti Perjalanan Thomas Dias ke Pagaruyung Tahun 1684
Namun sejumlah temuan tersebut, yang lebih banyak terarah pada tinggalan budaya, juga diiringi berbagai kendala teknis yang menghambat tim peneliti untuk mengungkap lebih jauh soal sejarah Kerajaan Jambu Lipo.
Meskipun tim sepakat bahwa Kerajaan Jambu Lipo sudah berdiri sejak lama, namun tim belum bisa memberi kepastian terkait tahun-tahun penting dalam sejarah kerajaan Jambu Lipo. Menurut mereka, meski Kerajaan Jambu Lipo kaya dengan sumber lisan, namun sumber atau arsip tertulis yang sangat terbatas menjadi kendala berarti dalam penelitian tersebut. Salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut ialah dengan penelitian arkeologis yang lebih jauh dan mendalam. Tim peneliti juga menekankan, sekali lagi, bahwa temuan mereka masih bersifat temuan awal atau temuan sementara. Kertas kerja yang mereka paparkan pun masih berupa draft yang akan disempurnakan lebih lanjut.
“Untuk mendapat narasi sejarah yang betul-betul kokoh, sumber lisan saja belum cukup. Sementara sumber tulisan sangat terbatas. Ada beberapa sumber penting seperti tambo, namun sayangnya kita belum bisa mengaksesnya. Karena itu penelitian ini sebetulnya lebih bersifat penelitian budaya daripada penelitian sejarah,” terang Nopriyasman saat diwawancarai Haluan Padang seusai seminar.
Artikel Terkait
Empat Wajah Imam Bonjol
Pantun, Teka-teki, dan Talibun Jaman Rodi
Hal-hal yang Harus Kamu Tahu Soal Istana Basa Pagaruyung: dari Politik Orde Baru sampai Komoditas Pariwisata
Perempoean Madjoe dan Jamannya: Membahas Beberapa Salah Kaprah Mengenai Ruhana Kuddus
Mengikuti Perjalanan Thomas Dias ke Pagaruyung Tahun 1684
Seminar Kajian Sejarah dan Budaya Kerajaan Jambu Lipo Picu Polemik