22 Desember Dirayakan Sebagai Hari Ibu, Begini Sejarahnya

- Rabu, 22 Desember 2021 | 17:08 WIB
Panitia Kongres Perempuan I 22-25 Desember 1928 (insideindonesia.org)
Panitia Kongres Perempuan I 22-25 Desember 1928 (insideindonesia.org)

HALUAN PADANG - Setiap tahun, 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu atau Hari Pergerakan Perempuan Indonesia.  Nah, bagaimanakah Sejarah Hari Ibu ini? 

Secara resmi, tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu melalui Dekrit Presiden nomor 316 tahun 1959. Tanggal tersebut dipilih untuk memperingati Kongres Perempuan Indonesia I yang berlangsung tanggal 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, tepatnya di Ndalem Joyodipuran, beberapa pekan setelah Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda

Pada masa-masa sebelumnya, Hari Ibu atau kadang disebut juga Hari Perempuan sebetulnya sudah mulai diperingati namun peringatan itu lebih tertuju untuk mengenang R. A Kartini. Sebagian organisasi perempuan menolak hal tersebut karena menganggap Kartini tidak dapat mewakili seluruh Perempuan Indonesia. 

Baca Juga: Perempoean Madjoe dan Jamannya: Membahas Beberapa Salah Kaprah Mengenai Ruhana Kuddus

Meski bukan termasuk hari Libur Nasional, Hari Ibu dianggap sebagai tonggak sejarah pergerakan Perempuan Indonesia. Belum pernah diselenggarakan pertemuan khusus untuk membahas persoalan perempuan dalam skala sebesar itu pada masa-masa sebelumnya. Lebih jauh lagi, untuk ukuran jaman itu, isu yang dibicarakan dalam kongres tersebut sangatlah progresif. 

Saat itu lebih dari 1.000 orang perwakilan berbagai organisasi dan partai politik seperti Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Partai Nasional Indonesia (PNI), Jong Java, Jong Madoera, dan seterusnya ikut menghadiri kongres.

600 di antaranya ialah para perempuan yang berasal dari berbagai macam latar belakang suku, agama, dan pekerjaan. Mereka ada yang berasal dari Wanita Oetomo, Poetri Indonesia, Wanita Katolik, Aisyiyah, Wanita Moeljo, Darmo Laksmi, Wanita Taman Siswa, juga organ perempuan  Sarekat Islam, Jong Java, Jong Islamieten Bond, dan lainnya. 

Para perserta kongres kemudian sepakat untuk membuat gabungan organisasi wanita dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Organisasi gabungan ini didirikan tidak hanya untuk memperjuangkan hak perempuan namun juga untuk melibatkan perempuan dalam gerakan kebangsaan. 

Baca Juga: Memaknai Pahlawan di Awal 1950-an

Dengan demikian, gerakan perempuan yang sebelumnya seperti terpisah dari gerakan kebangsaan serta cenderung apolitis,  hendak disatukan dan dijadikan gerakan politik. Jika sebelumnya gerakakan perempuan lebih banyak membahas persoalan individu, maka kini mau diarahkan untuk membahas persoalan yang sifatnya lebih luas. 

Ketika Orde Baru berkuasa, peringatan Hari Ibu ‘dibajak’ untuk kepentingan rezim. Tujuan PPPI untuk melibatkan perempuan dalam gerakan politik, dihilangkan dalam Peringatan Hari Ibu. Orde Baru tidak menghendaki sosok perempuan seperti yang diimpikan oleh banyak peseta Kongres Perempuan I itu. 

Sebaliknya Orde Baru menginginkan sosok Ibu yang hanya berperan sebagai pendamping laki-laki, selalu menuruti nasehat suami, menjauh dari gerakan politik dan kembali mengurus urusan-urusan rumah tangga. 

Baca Juga: Pangeran Charles Akui Kekejaman Mengerikan Sejarah Perbudakan Inggris di Koloninya

Jikapun terlibat dalam organisasi seperti PKK, para Ibu hanyalah diminta berperan sebagai penyebar idiologi negara Orde Baru demi mendukung kelangsungan rezim. Perempuan direstui ikut organisasi selama organisasi tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan Orde Baru. Tidak lebih, tidak kurang.

Halaman:

Editor: Randi Reimena

Artikel Terkait

Terkini

Ini Dia! Mansa Musa, Manusia Paling Kaya Dalam Sejarah

Senin, 27 Desember 2021 | 22:51 WIB

Memahami Sejarah Pemalakan di Minangkabau

Senin, 13 Desember 2021 | 15:27 WIB
X