Memahami Sejarah Pemalakan di Minangkabau

- Senin, 13 Desember 2021 | 15:27 WIB
ilustrasi pemalakan
ilustrasi pemalakan

HALUAN PADANG - Pemalakan terus terjadi di Sumatera Barat. Belum lama ini, ada kasus Izet dan pemalakan di Pantai Padang yang mendapat sorotan luas. Kini beredar lagi kabar soal pemalakan di Sijunjung. Seorang pengemudi ambulans yang tengah mengantar pasien, mengaku dicegat dan dipalak sejumlah orang bersenjatakan balok kayu di Sijunjung. Tak lama sebelumnya, seorang wartawan TvOne juga mengalami pemalakan di Sijunjung. 

Nah, bagaimana sejarah pemalakan di Minangkabau ini?

Thomas Dias yang mencatat perjalanannya ke pedalaman Minangkabau pada 1684, tidak menyebut adanya praktek pemalakan. Di tiap daerah yang disinggahinya, dia memang dicurigai dan ditakut-takuti penduduk setempat, tapi dia tidak dimintai sejumlah uang atau barang sebagai syarat untuk melewati daerah tersebut.

Baca Juga: Mengikuti Perjalanan Thomas Dias ke Pagaruyung Tahun 1684

Namun dua abad setelah itu, saat Thomas Stanford Raffles melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau,  ia mengalami praktek mirip pemalakan. Saat itu ia harus membayar sejumlah uang pada para penghulu di beberapa nagari yang dilaluinya.  

Sejarawan Gusti Asnan dalam makalahnya berjudul Dari “Uang Siriah”, “Uang Rokok” Hingga Pakuak dan Pemalakan, Kekerasan Ala Urang Awak Dalam Persepktif Sejarah (2016), menyebut apa yang dialami Raffles sebagai “cikal bakal pemalakan” di Minangkabau.

Kewajiban membayar sejumlah uang/barang pada penguasa negeri itu dikenal juga sebagai “uang sirih.” Namun mengingat fungsi tradisional sirih sebagai simbol persahabatan dan penghormatan, pada masa-masa yang lebih silam uang sirih bisa dilihat sebagai sebentuk diplomasi, ungkapan rasa hormat satu komunitas saat memasuki wilayah komunitas lainnya.

Ceritanya jadi berbeda setelah masyarakat di pedalaman Minangkabau terserap lebih dalam ke  perekonomian komersil yang berkembang di pantai barat dan timur Sumatera, saat sirih berganti uang dan komoditas dagang. Inilah yang ditemui Raffles di tahun 1818.  Saat itu “uang sirih” lebih dimaknai sebagai sejumah uang  atau barang yang harus dibayar jika seorang pedagang melintasi wilayah suatu nagari. Uang atau barang itu dikutip oleh sejumlah pemuda.

Bentuk serta jumlah “uang sirih” pada abad ke-18 dan ke-19 itu juga relatif, tergantung kebutuhan nagari penagih “uang sirih”. Dalam artkelnya yang lainnya berjudul Transportation on the West of Sumatra in the Nineteenth Century (2002), Gusti Asnan menulis tentang penghulu di sebuah nagari yang meminta sejumlah kain pada pedagang yang lewat untuk diberikan pada warga korban kebakaran.

emBaca Juga: Empat Wajah Imam Bonjol

Namun harus digarisbawahi juga bahwa pada masa-masa itu belum ada konsep “fasilitas publik” seperti yang kita kenal hari ini. Jaringan jalan yang melintasi nagari-nagari pada waktu itu bukan jalan negara yang dibangun dengan uang pajak seperti yang ada sekarang ini. 

Bisa jadi  “uang sirih” merupakan upaya suatu komunitas untuk menunjukkan sekaligus memelihara kedaulatannya. Lagipula, jauh sebelum pedalaman Minangkabau terserap dalam perdagangan komersil, jalan-jalan itu agaknya lebih sebagai jalur migrasi komunitas-komunitas masyarakat yang hidup dengan ekonomi subsisten dan tidak begitu tergantung pada ‘pasar’.

Karena itulah kita bisa bersepakat dengan Gusti Asnan bahwa sejumlah bea perjalanan yang harus dibayar Raffles di beberapa nagari, barulah “cikal bakal”, ia tidak sepenuhnya sama dengan apa yang hari ini disebut pemalakan.

Baca Juga: Menyigi Sejarah Koa/Ceki: Dekat dengan Mistik, Bukan Produk Orang Minang

Halaman:

Editor: Randi Reimena

Artikel Terkait

Terkini

Ini Dia! Mansa Musa, Manusia Paling Kaya Dalam Sejarah

Senin, 27 Desember 2021 | 22:51 WIB

Memahami Sejarah Pemalakan di Minangkabau

Senin, 13 Desember 2021 | 15:27 WIB
X