HALUAN PADANG - Bagaimana sejarah Paderi ditulis di masa lalu akan berpengaruh terhadap bagaimana orang-orang hari ini memaknai sejarah Paderi. Misalnya, soal dilabelinya Paderi sebagai gerakan wahabi. Sebagian besar karya tulis tentang kaum Paderi, terutama yang ditulis oleh orang-orang dari pemerintahan Kolonial Belanda, mengatakan bahwa kaum Paderi menganut paham Wahabi. Hal tersebut terus ditulis ulang, baik oleh penulis dari luar mau pun pengarang Indonesia. Pembayangan bahwa kaum Paderi (dan juga para ulama Paderi) menganut wahabisme kemudian menjadi mapan, ketika ingat Paderi, orang akan ingat wahabi.
Di satu sisi, pelabelan seperti itu bisa dimanfaatkan sebagai legitimasi sejarah oleh sebagian pihak yang hari ini menganut wahabisme; bahwa wahabisme punya sejarah panjang, sudah berurat berakar, dan di titik tertentu diklaim sebagai model beragama paling murni dan sejati di Minangkabau. Di sisi lainnya, sebagian pihak juga bisa memanfaatkannya untuk membenarkan prasangkanya bahwa kekerasan adalah sesuatu yang inheren, yang tak terpisahkan dengan ajaran Islam. Dan karenanya segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam harus pula dicurigai.
Baca Juga: Empat Wajah Imam Bonjol
Baca Juga: Menyigi Sejarah Koa/Ceki: Dekat dengan Mistik, Bukan Produk Orang Minang
Namun benarkah kaum paderi menganut wahabisme?
Pertanyaan tersebut coba dijawab oleh sejarawan Deddy Arsya dan filolog Apria Putra dalam podcast bertajuk “Membedah Paham Ulama Paderi Sesi II” yang tayang di kanal YouTube Kaji Surau (17/11/2021). Dimoderatori oleh Nuzul Ikandar, acara bincang-bincang itu membahas paham keagamaan kaum Paderi dari berbagai sisi. Mulai dari sejarah dari penulisan sejarah kaum Paderi sampai bukti-bukti keterkaitan Paderi dengan wahabisme.
Deddy melihat karya seperti Tuanku Rao yang ditulis Onggang Parlindungan, telah membuat sejarah tentang paham keagamaan Paderi yang luas dan kompleks menjadi terlalu sederhana. Dalam karya-karya seperti itu, Paderi dilabeli begitu saja sebagai penganut wahabi.
Akan tetapi Deddy tidak menemukan bukti yang menunjukkan dengan lugas dan terang bahwa kaum Paderi, termasuk Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumaniak (selanjutnya ditulis ‘tiga haji’), betul-betul menganut wahabisme.
Sebaliknya, Deddy justru menemukan bukti bahwa ulama Paderi seperti Tuanku Imam Bonjol masih mempraktekkan ‘ilmu pelangkahan’, suatu amalan tasauf yang ditentang oleh wahabisme.
Deddy juga mempertanyakan soal bukti-bukti kongrit soal klaim bahwa ulama Paderi memang menganut wahabi. Misalnya soal kitab-kitab yang dibawa oleh tiga hari dari Mekah. Ia meragukan apakah mereka membawa serta kitab-kitab seperti karya Hambali atau kitab hukum wahabi lainnya.
Sejauh ini, menurutnya, tidak ada bukti bahwa tiga haji tersebut membawa pulang kitab-kitab seperti tiu. Dalam berbagai catatan, bahkan dalam naskah-naskah yang ditulis langsung oleh orang yang jadi bagian dan hidup pada masa Pederi, tidak disebut dengan jelas dan terang soal paham yang mereka bawa pulang dari Mekah.
“Apa idiologi, paham-paham yang mereka bawa? Tidak nampak dalam berbagai catatan, bahkan dalam naskah Faqih Saqhir sekalipun,” kata Deddy.
Apria Putra juga meragukan kebenaran klaim bahwa kaum Paderi menganut wahabisme. Filogog yang juga tenaga pengajar di IAIN Bukittinggi itu mengatakan bahwa penamaan wahabi oleh penulis-penulis luar atau penulis seperti Muhammad Radjab itu bermasalah. Bermasalah dalam arti penamaan itu tidak sesuai kenyataan.
Artikel Terkait
Empat Wajah Imam Bonjol
Pantun, Teka-teki, dan Talibun Jaman Rodi
Menyigi Sejarah Koa/Ceki: Dekat dengan Mistik, Bukan "Produk" Orang Minang
Perempoean Madjoe dan Jamannya: Membahas Beberapa Salah Kaprah Mengenai Ruhana Kuddus
Memaknai Pahlawan di Awal 1950-an