HALUAN PADANG – Kerajaan Jambu Lipo dan masyarakat Lubuak Tarok kaya dengan cerita-cerita rakyat yang masih hidup hingga hari ini. Ia adalah kisah-kisah menakjubkan tentang Raja yang dihukum pancung yang kepalanya dibuang ke laut dan badannya di arak berkeliling kampung sampai seorang Inyiak yang bertarung melawan seekor gajah selama delapan hari.
Baca Juga: Seminar Kajian Sejarah dan Budaya Kerajaan Jambu Lipo: Tim Peneliti Ungkap Sejumlah Temuan Awal
Berbagai kisah ‘kurang masuk akal’ itu, dipaparkan oleh Tim Peneliti Sejarah dan budaya Kerajaan Jambu Lipo, yang terdiri dari Sudarmoko Ph.d, Dr Norpiyasman, Dr Ivan Adilla, dan Hary Efendi Iskandar, SS., dalam Seminar Kajian Sejarah dan Budaya Kerajaan Jambu Lipo, pada Rabu (1/12/2021) di Hotel Bumi Minang.
Kisah-kisah tersebut ialah salah satu temuan awal tim peneliti tersebut. Temuan ini bukan berarti para penelitilah yang pertama kali menemukannya, namun dalam arti menemukan fungsi-fungsi sosial budaya dari berbagai tinggalan budaya seperti cerita-cerita rakyat tersebut.
Kisah pertama bercerita tentang kematian tragis Sutan Pondok Gagindo Tan Ameh.
Konon, di masa penjajahan Belanda hidup seorang tokoh bernama Sutan Pondok Gagindo nan Ameh, Raja Alam Kerajaan Jambu Lipo yang kesembilan. Ia adalah pahlawan lokal yang sangat populer. Dalam Seminar Kajian Sejarah dan Budaya Kerajaan Jambu Lipo, Ivan Adilla, salah satu tim peneliti, mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat Lubuak Tarok akrab dengan kisah Sutan Pondok ini.
Ia diperkirakan hidup pada masa penjajahan Belanda. Diceritakan, karena sikap kerasnya, ia melawan saat Belanda ingin mengambil alih Jambu Lipo. Belanda kemudian menjatuhinya hukuman pancung. Tak hanya dipancung, kepala Sutan Pondok dibuang ke laut sementara tubuhnya diarak untuk menakut-nakuti masyarakat.
Baca Juga: Tato Mentawai: Nyaris Punah, Bangkit Kembali.
Sutan Pondok sendiri memiliki dua orang anak, Sutan Dilawik dan Sutan Dilangik. Sebelum dihukum mati, Sutan Pondok sempat dibuang ke Cianjur. Ia pergi bersama Sutan Dilawik, sementara Sutan Dilangit tetap berada di Lubuak Tarok.
Saat itulah seekor gajah mengamuk, memporak-porandakan Lubuak Tarok. Gajah tersebut sangat kuat. Ia tidak bisa dikalahkan meski semua penduuduk yang kuat melawannya bersama-sama. Sutan Dilangik kemudian turun tangan. Dengan pedang saktinya ia bertarung melawan gajah tersebut selama delapan hari.
Dua-duanya sama kuat. Tak ada yang berani ikut serta dalam pertarungan epik tersebut. Masyarakat hanya bisa menyaksikan dan menyediakan makanan bagi keduanya pada hari ketujuh. Saat itu keduanya sudah betul-betul kelelahan. Merekapun sepakat untuk beristirahat dan memulihkan tenaga.
Pada hari kedelapan, pertempuran kembali dimulai. Namun keduanya telah terlampau letih hingga akhrinnya sama-sama meregang nyawa.
Baca Juga: Mengikuti Perjalanan Thomas Dias ke Pagaruyung Tahun 1684
Untuk mengenang peristiwa tersebut, masyarakat menamai tempat pertempuran tersebut sebagai Kubangan Gajah. Sutan Dilangik juga dikenang sebagai Inyiak Mati dek Gajah karena keberaniannya. Sedang pedang sakti yang digunakannya dalam pertempuran itu, sampai kini masih disimpan oleh anak cucu Sutan Pondok dari belahan Sutan Dilawik.
Artikel Terkait
Pantun, Teka-teki, dan Talibun Jaman Rodi
Tato Mentawai: Nyaris Punah, Bangkit Kembali.
Hal-hal yang Harus Kamu Tahu Soal Istana Basa Pagaruyung: dari Politik Orde Baru sampai Komoditas Pariwisata
Mengenal Ulu Ambek: Silat Batin dari Ranah Minang
Seminar Kajian Sejarah dan Budaya Kerajaan Jambu Lipo: Tim Peneliti Ungkap Sejumlah Temuan Awal
Seminar Kajian Sejarah dan Budaya Kerajaan Jambu Lipo Picu Polemik
Mengenal Tari Tanduak dari Lubuak Tarok: Tarian Kuno Laga Dua Kerbau