HALUANPADANG.COM - Hari ini gerakan sosial berbasis adat menjadi kekuatan sosial tersendiri. Di Amerika Selatan partai-partai Adat memainkan peran penting dalam kancah politik regional. Adat, tulis David Henley dan Jamie Davidson (2010: 1), yang mulanya berarti kebiasaan, tata-tertib yang tentram, kini memiliki arti yang berhubungan dengan aktivisme, protes dan konflik. Sedikit banyaknya, hal itu juga tampak di Indonesia sendiri. Kita misalnya mengenal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), organisasi yang vokal memperjuangkan hak-hak masyarakat Adat di Nusantara saat berhadapan dengan negara dan korporasi. Singkatnya, Adat kini juga berarti gerakan sosial.
Dan di tempat yang kini disebut Sumatera Barat pernah lahir Partai Adat Rakyat (PAR)—sebuah partai politik yang menjadikan Adat Minangkabau sebagai idiologi sekaligus menonjolkan watak gerakan sosial. Di awal-awal kemunculannya, mereka berusaha merevisi pengertian lama tentang Adat Minangkabau yang dinilainya terlalu lembek. Pemimpinnya lebih terlihat sebagai aktivis ketimbang penghulu tradisional dengan feodalismenya.
Dari Sempalan ke Sempalan
Sejarah Sumatera Barat di awal 1900-an ditandai dengan munculnya gerakan kaum adat yang berupaya menguatkan dan memurnikan kembali Adat Melayu-Minangkabau yang mereka lihat tengah mengalami kemerosotan parah. Kemerosotan itu mereka lihat bersumber dari pengaruh Aceh yang terus dilestarikan penghulu golongan tua. Mereka juga melihat gerakan Islam yang ortodoks sebagai ancaman. Dan di saat yang sama mereka berusaha menumbangkan sistem Keregenan buatan Belanda yang mereka anggap ikut mengotori kemurnian Adat Melayu-Minangkabau tanpa niat menumbangkan kolonialisme itu sendiri.
Kalangan ini mengimpikan tatan lama Minangkabau sambil bergantung pada tatanan ‘lama’ Kolonial. Para penghulu yang mendukung gerakan ini melihat diri sebagai kaum tercerahkan, anti-feodalisme ala penghulu golongan tua, sahabat baik bagi Belanda, dan menolak praktek agama yang kaku. Mereka kemudian mendirikan “partai adat” pertama pada 1916, Sarekat Adat Alam Minangkabau, dengan Sutan Maharaja sebagai idiolog utamanya. Menurut Taufik Abdullah (2021: 72) fondasi idiologi yang dibangun Sutan Maharaja juga menjadi pijakan bagi organisasi-organisasi Adat lainnya.
Saat bangkitnya gerakan komunis di dataran tinggi Minangkabau pada paro kedua abad itu, Adat sekali lagi goncang. Pada masa-masa itu Adat Minangkabau juga coba ditafsirkan kembali oleh penghulu seperti Achmad Chatib Dt Batuah ke arah yang lebih komunis. Tafsiran ini berbeda lagi dengan ‘pemurnian’ ala Sutan Maharadja dan kelompoknya yang cendrung apolitis. Dt Batuah melihat adat sebagai sesuatu yang subersif dan anti-kolonial sekaligus anti-feodalisme penghulu golongan tua. Adat baginya adalah lawan langsung dari kolonialisme (Sufyan, 2017). Suatu Karapatan Adat diadakan di Padang Panjang sekitar tahun 1924. Dalam pertemuan itu, A Muis yang datang ke Padang Panjang sebagai perwakilan Sarekat Islam yang salah satu agendanya mengurangi pengaruh komunis di Sumatera Barat, tampil sebagai salah satu pembicara. Ia tampaknya telah menjalin kerja sama dengan sebagian kaum adat yang juga resah oleh kiprah Dt Batuah. (Mc Vey, 2017: catatan kaki no. 11, hal. 497).
Setelah gagalnya percobaan Dt Batuah mengisi Adat dengan pandangan komunis karena ia segera ditangkap pemerintah Kolonial, pada 1937 sebuah organisasi penghulu bernama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Minangkabau (MTKAAM) didirikan di bawah pengawasan dan kontrol Belanda. Di organisasi ini, gema pemikiran Sutan Maharadja sangat terasa. Para anggotanya ialah penghulu-penghulu yang dekat dengan pemerintah Kolonial Belanda, sebagiannya adalah para pembesar yang terserap sedemikian rupa ke dalam tata kolonial. Wataknya yang cenderung apolitis dan bergantung pada tatanan kolonial nampak menonjol. Segera setelah organisasi ini berdiri, seorang anggotanya bernama R Dt Bagindo Basa nan Kuniang dikeluarkan karena dianggap meresahkan. Dari sini, kelak sebuah gerakan sempalan bermula.
Partai Adat Rakyat Masuk ke Gelanggang
Dalam masa-masa selanjutnya MTKAAM tampil sebagai perwakilan utama kalangan penghulu. Kecuali keterlibatan singkatnya dalam Revolusi 1945, paska kemerdekaan bisa dikatakan watak organisasi ini tidak mengalami perubahan mendasar. Pada awal 1950-an para penghulu dalam MTKAAM berupaya meneruskan upaya memurnikan Adat dalam artian lain sambil mendekat ke pusat kekuasaan baru: Jakarta. Mereka menjalin kontak dan sejumlah pertemuan dengan tokoh-tokoh di pusat pemerintahan untuk mengatasi merosotnya Adat Minangkabau dengan cara memperbaiki rumah gadang-rumah gadang yang rusak, memperbaiki masjid-masjid, serta menguatkan kembali peran mamak dan penghulu. Dengan kata lain, bagi MTKAAM masa itu Adat lebih berhubungan dengan perbaikan simbolis, terlepas dari persoalan ekonomi dan politik.
Namun cara memandang Adat seperti itu kembali mendapat tantangan. Sikap tersebut dinilai terlalu lembek oleh Dt Bagindo Basa yang pada waktu itu telah bergabung kembali dengan MTKAAM. Dalam Kongres Ketujuh MTKAAM di Sawahlunto 24 April 1950 ia mendeklarasikan partai baru bernama Partai Adat Rakyat. Ia kelihatan tidak puas dengan netralisme politik MTKAAM. Menurutnya, orang Minang harus berpolitik untuk memperbaiki hidup dan Adatnya, menanggalkan feodalisme.
Karena deklarasi tersebut, Dt Bagindo Basa sekali lagi dikeluarkan dari organisasi. PAR tidak diakui sebagai bagian dari MTKAAM, meka sendiri menganggap berdirinya PAR di luar MTKAAM sebagai keluarnya musuh dalam selimut.
Setelah delapan bulan dideklarasikan partai ini mengadakan konfrensi pertama di Bukittinggi 23 Desember 1950. Di sana asaz partai dirumuskan:
Sama bahagia dan sama sengsara dalam keadaan ekonomi terdesak; duduk sama rendah, tegak sama tinggi, sama rata-sama rasa, tidak ada golongan yang mempertuan dan dipertuan; tertelungkup sama makan tanah, terlentang sama meminum air.
PAR mengklaim bahwa asaz tersebut berdasarkan adat Minangkabau yang dirumuskan oleh Dt Perpatih nan Sabatang dan Dt Katumanggungan. Menurut mereka, prinsip-prinsip dalam Adat Minangkabau seperti di atas sudah tersebar dan berlaku di banyak tempat di Nusantara. Tidak hanya di Minangkabau tapi juga di tempat-tempat lain, seperti Kalimantan, Sulawesi, serta Semenanjung Malaya.
Artikel Terkait
Empat Wajah Imam Bonjol
Pantun, Teka-teki, dan Talibun Jaman Rodi
Menyigi Sejarah Koa/Ceki: Dekat dengan Mistik, Bukan "Produk" Orang Minang
Perempoean Madjoe dan Jamannya: Membahas Beberapa Salah Kaprah Mengenai Ruhana Kuddus
Memaknai Pahlawan di Awal 1950-an
Mengikuti Perjalanan Thomas Dias ke Pagaruyung Tahun 1684