Haluanpadang.com -10 November baru saja berlalu. Masyarakat Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Sejumlah Pahlawan Nasional yang baru diresmikan, di antara deretan panjang antrian calon pahlawan nasional. Di beberapa tempat, kadang digelar upacara khusus, atau kegiatan bertema kepahlawanan. Elit-elit politik berpidato menggebu-gebu, mangajak seluruh lapisan masyarakat meneladani para pahlawan. Euforia.
Namun tidak sedikit akademisi serta inetelktual yang melihatnya dengan sinis. Pemilihan Pahlawan Nasional bahkan dilihat sebagai bagian dari negosiasi elit politik demi kapling-mengkapling kekuasaan. Ada pula yang melihat pemahlawanan sebagai pemfosilan sosok pahlawan tersebut, ketika yang ditonjolkan hanya sebatas sosok luar si pahlawan bukan gagasannya.
Itu terjadi hari-hari ini. Namun bagaimana pahlawan diperingati dan dimaknai pada masa-masa awal 1950-an, sedikit berbeda dengan hari ini. Hal tersebut terutama tampak, salah satunya, pada bagaimana Partai Komunis Indonesia (PKI) memaknai pahlawan.
Memperingati Para Pahlawan di Awal 1950-an
Sebelum 10 November ditetapkan secara resmi oleh Presiden Sukarno sebagai Hari Pahlawan Nasional pada 1959, orang-orang Indonesia memperingati para pahlawan bersamaan dengan peringatan Hari Kebangunan Nasional pada 20 Mei. Tanggal 20 Mei 1908, hari saat berdirinya Boedi Oetomo, dipilih karena momen itulah yang dianggap menandai munculnya kesadaran Nasional Indonesia. Peringatan Hari Kebangunan Nasional pada awal 1950-an itu, menjadi sesuatu yang sangat penting bagi sebuah bangsa yang belum mapan dan masih dalam proses awal pembentukan.
Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa-masa tersebut termasuk yang sangat bersemangat mendukung perayaan Hari Kebangunan Nasional yang kini kita kenal sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Menurut Aidit, “memperingati hari2 bersedjarah, memperingati dan melakukan pemudjaan2 terhadap pahlawan2 dan pudjangga2 nasional adalah mempertebal semangat patriotik”. Itu ditulisnya pada tahun 1953 dalam tulisan singkat berjudul, Kebanggaan dan Kesedaran Nasional (Aidit, Kumpulan Tulisan Djilid I. 1959: 85).
Demikian pentingnya pemujaan terhadap pahlawan di Hari Kebangunan Nasional ketika itu, membuat momen tersebut bisa berkembang menjadi ajang pertarungan politik. Bagi PKI dan partai-partai nasionalis lainnya, keterlibatan suatu golongan dalam peringatan terhadap pahlawan bisa dipakai sebagai indikator untuk mengukur patriotisme golongan tersebut.
“Ada golongan2 di Indonesia jang tidak suka memperingati hari2 bersedjarah, memperingati dan melakukan pemudjaan terhadap pahlawan2 dan pudjangga2 nasional,” masih menurut Aidit saat itu, di tahun 1952-1953. Secara eksplisit Aidit menyebut bahwa yang dimaksudnya ialah Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan beberapa petinggi Masyumi yang, karena suatu alasan yang tidak kita ketahui, tidak mau ikut dalam panitia Hari Kebangunan Nasional pada tahun-tahun tersebut.
Pahlawan-pahlawan nasional serta pujangga nasional yang menurut Aidit mesti dipuja-puja, merupakan tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang berbeda-beda, baik secara agama, politik, maupun keilmuan. Mulai dari Imam Bonjol, Musso, sampai Dr Achmad Mochtar yang hari ini namanya diabadikan sebagai rumah sakit di Bukittinggi. Lengkapnya Aidit menulis:
“Sedjarah bangsa kita djuga dihiasi oleh keperwiraan, kepahlawan, dan kebesaran orang2 seperti Imam Bondjol, Pattimura, Dipo Negoro, Sultan Hassanudin, Si Singa Mangaradja, Teuku Umar, Raden Ajeng Kartini, Panglima Polem, Dr Wahidin Sudirosuhodo, Dr Abdul Rivai, Tjipto Mangunkusomo, Djendral Sudirman, Amir Sjarifudin, Musso, Mongondisi, dan banjak lagi”.
Selain itu Aidit juga menyebut pujangga besar seperti Ronggowarsito dan Wilem Iskandar, komponis seperti W.R Supratman dan Cornel Simandjuntak, serta sarjana kedokteran seperti Dr Muchtar dan Dr Susilo. Dari sederet nama yang disebut Aidit kini telah diresmikan sebagai Pahlawan Nasional.
Karena waktu itu belum ada hari khusus untuk memperingati semua pahlawan secara bersamaan, maka tiap-tiap pahlawan diperingati secara khusus. Surat kabar PKI, Harian Rakjat membuat semacam edisi khusus memperingati seadab Diponogoro pada 8 Januari 1955. Pada halaman depan surat kabar terpampang wajah Diponegoro dengan editorial berjudul: Abadilah Engkau, api Diponegoro!
Surat kabar edisi yang sama juga memberitakan bahwa seadab Diponegoro diperingati secara spesial. Diselenggarakan di Istana Presiden, dengan penyampaian Pidato Presiden dan Mentri Pendidikan Kebudayaan tentang Diponegoro. Selain itu, pada hari tersebut “Djuga akan diadakan rapat2 chusus peringatan 1 abad wafatnya pahlawan Diponegoro dibeberapa tempat terutama daerah pinggiran” seperti Kramat Jati, Tanjung Priok, dan Kebayoran Lama.