HALUANPADANG.COM - Setelah dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada 2019 lalu, nama Ruhana Kuddus kembali diperbincangkan setelah wajahnya tampil di Google Doodle hari ini, Senin (8/11). Beberapa ulasan ringkas mengenai kiprahnya di masa lalu pun bermunculan. Baik yang melihatnya sebagai jurnalis perempuan pertama, pejuang kesetaraan gender, sampai yang menyebutnya sebagai pejuang yang melawan penjajahan Belanda.
Namun tidak semua klaim-klaim tersebut bisa dibenarkan. Kita bisa menyebutnya sebagai jurnalis perempuan pertama karena faktanya sampai pada 1911 memang belum ada perempuan yang mengelola perbitan surat kabar dan menulis secara rutin di media massa. Namun ketika kita menyebutnya sebagai ‘pejuang keseteraan gender’ kita mesti bertanya dulu, kesetaraan gender atau feminisme seperti apa yang dimaksud. Begitu juga ketika kita menyebutnya sebagai 'pejuang yang melawan penjajahan Belanda'.
Besar dalam Djaman Madjoe
Masa-masa peralihan abad 18 ke abad 19 ditandai dengan bermunculannya elit pribumi, baik laki-laki atau perempuan, tidak hanya di tempat yang kini disebut Sumatera Barat namun merentang ke wilayah koloni Belanda lainnya di kawasan timur. Secara umum lit-elit ini melihat dirinya sebagai bagian dari djaman madjoe. Sebagian dari mereka melihat djaman madjoe sebagai jaman di mana putra-putri anak jajahan bisa hidup sentosa dan bahagia, menyongsong perubahan jaman di bawah panji-panji Kerajaan Belanda. Ringkasnya mereka tidak mempermasalahkan penjajahan atau kolonalisme.
Pada saat-saat itu pula, gagasan mengenai hak-hak perempuan mulai dibicarakan. Gagasan mengenai perempoean madjoe mulai dibentuk. Di Sumatera, Jawa, serta Maluku, sekolah-sekolah khusus perempuan dibangun. Surat kabar-surat kabar didirikan yang sebagiannya menyokong gagasan kemadjoean sebagai lawan dari gagasan tradisional mengenai perempuan yang harus tinggal di rumah selamanya dan tunduk pada suami serta kaum pria umumnya.
Dalam masa-masa inilah Ruhana Kuddus tumbuh besar dan berkembang. Ia lahir pada 1884 di Koto Gadang—salah satu Nagari paling modern pada masanya—dengan nama Siti Roehana. Nama “Kuddus” yang kemudian disematkan di belakang namanya diambil dari nama suaminya, seorang notaris bernama Abdul Koeddoes. Ayahnya adalah seorang jaksa kepala. Di masa-masa remajanya ia belajar membaca dan menulis secara otodidak dan mengonsumsi berbagai bacaan.
Di saat itu, pada 1908, sebuah surat kabar khusus membahas masalah perempuan bernama Poetri Hindia, yang diinisiasi Tirto Adhi Soerjo, telah berdiri di Batavia. Ruhana adalah salah satu pembaca surat kabar Poetri Hindia. Tulisannya juga pernah dimuat surat kabar tersebut.
Dalam suatu laporan umum pada 1914 yang dibuat pemerintah Belanda untuk membicarakan masalah-masalah perempuan di tanah jajahan, poligami, pernikahan dini, serta masalah-masalah buruh perempuan disampaikan oleh sejumlah perempuan terdidik seperti Dewi Satika yang pada 1904 telah mendirikan Sekolah Istri.
Antara 1910-an sampai akhir 1920-an, di Hindia Belanda berdiri puluhan organisasi perempuan yang memiliki visi berbeda-beda. Dari yang memperjuangkan penghapusan perdagangan perempuan, kemandirian ekonomi perempuan, sampai penghapusan poligami.
Kerajinan Amai Setia, yang didirikan Ruhana Kuddus setahun sebelumnya pada 1911 di Koto Gadang, dapat digolongkan pada organisasi perempuan yang berfokus pada kemandirian ekonomi perempuan. Dari singkatan namanya, ‘KAS’, bisa dimengerti bahwa Ruhana menginginkan perempuan mampu memproduksi kerajinan-kerajinan tangan yang memiliki nilai ekonomi sebagai tambahan kas keluarga. Dengan begini, perempuan tidak sepenuhnya tergantung secara ekonomi pada laki-laki.
Setahun kemudian pada 1912 ia bekerjasama dengan Datuk Sutan Maharadja, seorang pengusaha media massa di Padang yang berkeyakinan bahwa pribumi dapat maju di bawah naungan Belanda, mendirikan surat kabar perempuan Soenting Melajoe. Surat kabar ini adalah satu-satunya surat kabar pada masa itu yang dieditori dan dikelola sepenuhnya oleh perempuan. Bersama Ratan Juwita Zubaidah, putri dari Sutan Maharadja, ia menjadikan Soenting Melajoe sebagai surat kabar yang seluruh kontributornya berasal dari kaum perempuan.
Kesetaraan yang Diperjuangkan Rohana
Para penulis Soenting Melajoe, melihat diri mereka sebagai ‘soenting’, sebagai hiasan, alam Melayu nan permai. Namun mereka menolak gagasan bahwa perempuan tidak perlu pandai membaca dan menulis. Dalam tulisan-tulisan di edisi-edisi awal surat kabar yang berumur kurang lebih 10 tahun itu, para penulisnya mendorong perempuan agar berani menyongsong perubahan jaman: menjadi perempoean madjoe yang berpendidikan, yang tidak sepenuhnya bergantung pada laki-laki, dan di saat yang sama tetap menghormati adat melayu di mana posisi perempuan memang sudah seharusnya berada di bawah otoritas mamak—paman laki-laki dari pihak ibu.
Gagasan semacam ini ditentang oleh penulis perempuan lainnya dari surat kabar Soeara Perempoean yang terbit tujuh tahun kemudian, pada 1919. Para jurnalis Soeara Perempoean, jauh lebih radikal dalam soal hubungan laki-laki-perempuan. Mereka menggangap para penulis Soenting Melajoe dan perempuan Melayu umumnya bagaikan burung di dalam sangkar. Mereka memang aman, namun di saat yang sama mereka terkungkung. Dan bagi mereka hubungan yang mengungkung antara mamak dan kemenakan perempuannya sudah sepantasnya ditanggalkan karena tidak sesuai dengan kemajuan jaman.
Artikel Terkait
Empat Wajah Imam Bonjol
Pantun, Teka-teki, dan Talibun Jaman Rodi
Memaknai Pahlawan di Awal 1950-an
Riwayat Partai Adat Rakyat dan Pergelutan tentang Adat Minangkabau
Mengikuti Perjalanan Thomas Dias ke Pagaruyung Tahun 1684