Hal-hal yang Harus Kamu Tahu Soal Istana Basa Pagaruyung: dari Politik Orde Baru sampai Komoditas Pariwisata

- Jumat, 15 Oktober 2021 | 17:39 WIB
ILustrasi rumah gadang Minangkabau (Kemendikbud.go.id)
ILustrasi rumah gadang Minangkabau (Kemendikbud.go.id)

HALUANPADANG - Banyak yang mengira bahwa Istana Basa Pagarruyung di Batusangkar adalah istana yang sudah berdiri sejak dahulu kala, istana yang sama dengan istana dalam kaba Cindua Mato, atau istana tempat Sultan Alam Bagagarsyah dulu memerintah. Istano Basa Pagaruyung sering dipahami sebagai Istana yang berasal dari jaman kuno, sebagai warisan otentik etnis Minangkabau. 

Foto-foto, sampul buku, iklan-iklan, ilustrasi-ilustrasi dan segala yang berkaitan dengan Minangkabau, sering menampilkan Istana Baso Pagaruyung sebagai representasi Minangkabau, sebagai ‘wajah utama’ Minangkabau (dan Provinsi Sumatera Barat).  

Nah, Sejarawan Nopriyasman dalam disertasinya berjudul Politik Representasi Istana Basa Pagaruyung Sebagai Identitas Minangkabau di Sumatera Barat (2011), membahas femonema tersebut secara luas dan cukup mendalam. Namun, dalam tulisan kali ini kita tidak akan membahas secara detail dan panjang lebar hasil penelitian Doktor di bidang sejarah itu, melainkan membahas kulit-kulitnya saja. 

Sejarah Ringkas

Awalnya Kerajaan Pagaruyung adalah salah satu dari sekian tempat berdiamnya Raja. Pagaruyung memang lebih menonjol dari kerajaan lainnya terutama setelah Adityarwan menjadikannya pusat pemerintahan. Kerajaan ini  menjadi makin dikenal saat diangkatnya Sultan Alam Bagagar Syah sebagai Hoofdregent van Minangkabau.  

Bersama Belanda, sang Sultan dan beberapa pucuk pimpinan Adat lainnya membikin aliansi untuk melawan kaum Paderi. Ketika situasi berbalik, sebagian kaum Paderi dan kaum  Adat bersepakat untuk menyerang Belanda. Sultan diasingkan, dan Pagaruyung mulai dilihat sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah. Namun pamornya makin tenggelam seiring waktu. 

Pada 1950-an, Rumah Tuan Gadih, peninggalan Kerajaan Pagaruyung yang lebih otentik, berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Para petinggi Adat di Tanah Datar berusaha meminta bantuan pemerintah untuk merenovasi bangunan tersebut, naman karena PRRI upaya itu tertunda. Rumah Tuan Gadih bahkan dibakar pada masa PRRI itu.

Dibangun Pada 1976, Modifikasi Istana di Negeri Sembilan

Nama Pagaruyung kembali disebut-sebut dalam percakapan orang ramai pada 1970-an. Harun Zein, Gubernur Sumatera Barat saat itu, memiliki rencana untuk membangun kembali Istana Pagaruyung. Ia  membentuk tim untuk menyelidiki dan merancang bentuk Istana Pagaruyung. Sebuah perusahaan konstruksi, biro konsultan, serta seorang arsitek, ditunjuk dalam proyek tersebut. Proyek dimulai pada 27 Desember 1976 dengan upacara penamanam tonggak tuo. Lokasinya tidak di Balai Janggo, tapi di kaki bukit Batu Patah, Padang Siminyak. 

Secara bentuk, istana itu adalah modifikasi Istana Yang Dipertuan Besar Tuanku Ja’far dari Negeri Sembilan.  Gaya yang dipakai adalah gaya Rumah Gadang gajah maharam. Gaya pada dasarnya tidak mewakili banyaknya gaya Rumah Gadang yang ada di Minangkabau, gaya ini sebetulnya lebih identik dengan gaya Rumah Gadang Luak Tanah Datar. Ia berbeda dengan sarambi papek, gaya Rumah Gadang di Luak Agam, atau rajo babandiang, gaya Rumah Gadang di Luak 50 Koto. Selain tiga gaya itu, sebetulnya terdapat banyak gaya Rumah Gadang lainnya. Namun yang dipilih adalah

Sejak Awal Dirancang Sebagai Komoditas Pariwisata, Bersifat Artifisial

Sejak awal Istana Basa Pagaruyung dirancang oleh pemerintahan Harun Zein sebagai komoditas pariwisata. Pembangunan istana ini, adalah bagian dari strategi investasi ekonomi jangka panjang Harun Zein. Ia tidak berfungsi sebagai pusat pemerintahan seorang Raja atau Sultan, melainkan semacam tanam purbakala sekaligus kawasan wisata. Kawasan wisata ini diharapkan akan memancing geliat ekonomi masyarakat sekitar. 

Lebih jauh, bangunan sakral seperti Rumah Gadang tradisional yang ada di banyak nagari. Ia bukanlah regalia di mana para penghuninya terikat dalam cara tertentu Rumah Gadang miliknya. Meski proyek pembangunan istana itu juga diselingi ritual Adat, dan belakangan ini sering dijadikan tempat pemberian gelar Adat, namun fungsinya jauh berbeda dengan Rumah Gadang tradisional.   

Jadi, sekali lagi, Istana Baso Pagaruyung tidaklah sama dengan istana Pagaruyung yang diceritakan dalam Kaba, Istana Pagaruyung tempat Sultan Alam Bagagarsyah memerintah, maupun Rumah Gadang tradisional di nagari-nagari. 

Halaman:

Editor: Randi Reimena

Terkini

Ini Dia! Mansa Musa, Manusia Paling Kaya Dalam Sejarah

Senin, 27 Desember 2021 | 22:51 WIB

Memahami Sejarah Pemalakan di Minangkabau

Senin, 13 Desember 2021 | 15:27 WIB
X