HALUANPADANG.COM - Barangkali sudah banyak yang mengenal Nagari Abai dengan Rumah Gadang 21 Ruang-nya. Rumah Gadang itu terkenal karena ukurannya yang luar biasa besar, panjangnya setara dengan panjang satu lapangan sepakbola.
Namun selain seni arsitektur yang memukau itu, Kenagarian yang termasuk wilayah Kecamatan Sangir Batang Hari, Solok Selatan ini, juga menyimpan warisan budaya lainnya. Warisan itu adalah Batombe, seni berbalas pantun antara laki-laki dan perempuan yang diramu sedemikian rupa dengan tarian serta iringan musik.
Setiap pertunjukan Batombe biasanya berlangsung semarak. Dimulai selepas Isya, Batombe bisa berakhir saat Subuh menjelang. Dalam balutan pakaian yang serupa dengan pakaian pesilat tradisional, para pemain Batombe menari membentuk lingkaran sambil berbalas pantun. Rebab, gendang, dan talempong dimainkan penuh semangat mengiringi irama lantunan pantun dan gerakan para pemain yang makin lama makin cepat. Penonton yang hadir pun dibolehkan ikut menari serta menyahut pantun para pemain Batombe.
Menurut masyarakat Abai, Batombe berasal dari kata kerja “ba” dan “tombe” yang berarti tonggak atau tiang yang bermakna kegiatan bermusyawarah untuk mendirikan rumah, seperti ditulis oleh Ipraganis dalam artikelnya yang berjudul Batombe: Tradisi Bebalas Pantun di Kenagarian Abai Solok Selatan (Garak jo Garik / Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni. Vol. 12, No. 2, Juli-Desember 2016: 27-37).
Seperti kesenian tradisional lainnya, asal-usul Batombe juga diliputi mitos. Konon Batombe bermula saat masyarakat di kawasan yang sekarang disebut Nagari Abai itu, ingin membangun Rumah Gadang pertama. Pada waktu itu tempat tersebut masih lengang dan belum memiliki sistem adat yang mapan. Setelah berembuk, masyarakat pun sepakat untuk bergotong-royong mendirikan Rumah Gadang 21 Ruang. Para pria kemudian masuk ke hutan untuk mencari kayu yang bakal dijadikan tonggak tuo (tonggak utama) bersama para perempuan yang bertugas menyiapkan bekal. Di saat beristirahat, mereka saling berbalas pantun untuk menghibur diri.
Tanpa terasa kayu bakal tonggak rumah pun jadi. Namun saat akan diseret keluar rimba, kayu itu tiba-tiba menjadi berat. Mereka lalu menyembelih seekor kerbau dan memercikkan darahnya di sekitar batang kayu, meminta ijin pada ‘penjaga’ kayu tersebut.
Sementara versi lainnya menyebutkan bahwa Batombe bermula saat masyarakat Abai hendak mendirikan masjid pertama di kampungnya. Menurut Liza Oktasari dalam artikelnya berjudul Pertunjukan Batombe: Deskripsi Singkat (Wacana Etnik, Vol. 2, No. 2, 2011: 177-190), peristiwa itu terjadi pada tahun 1933. Setelah para niniak mamak berembuk dan sepakat untuk membangun masjid, warga pun mulai mencari kayu untuk tonggak Masjid. Namun kayu pilihan yang telah ditebang, tidak bisa diseret ke luar hutan. Meski ayat-ayat Al-Quran telah dibaca, kayu itu tetap tidak bisa diseret. Para pria dan wanita kemudian mendendangkan pantun, memohon pada para roh hutan agar kayu tersebut menjadi ringan. Setelahnya barulah kayu itu menjadi ringan dan bisa diseret sampai ke dalam kampung.
Terlepas dari perbedaan tersebut, Batombe sampai hari ini masih digelar di Rumah Gadang-Rumah Gadang Nagari Abai. Dalam upacara pernikahan, Batagak Panghulu, serta alek lainnya, Batombe kerap dimainkan.